Sejauh ini akar Pencak Silat secara umum belum dapat diketahui, baik itu mulai kapan keberadaannya ataupun penamaannya.
Dari beberapa referensi yang ada kemungkinan baru silat Minang, Jawa dan Silat Sunda saja yang agak sedikit jelas tertera melalui manuskrip, artefak atau relief candi meskipun masih blur keterangan mengenai namanya pada waktu itu.
Khusus silat Sunda, ditemukan beberapa manuskrip yang menunjukkan ke arah itu, salah satunya Sanghyang Sikshakandha Ng Karesiyan yang agak gamblang membabarkannya dalam satu kidung tentang perang.
Dalam Palagan Bubat tertera 7 penca, dalam Soepandi & Atmadibrata 1977:45 dituliskan dalam bahasa sunda kiwari (masa kini) saduran dari Hoen 1878:99 :
Puluh-puluh rombongan heunteu kaitungTujuh rupa penca, anu ulin pakarang baeLain deui bangsa, serimpi bedaya
Puluh-puluh rombongan tidak terhitung,Tujuh rupa penca, yang memainkan senjataBerbeda lagi bangsa, serimpi bedaya.
Ket:
Puluh-puluh disini bukan berarti banyak orang, melainkan hanya 23 orang Pajajaran yang terdiri dari dari 20 pembesar kerajaan (terdiri dari 11 pengawal raja & keluarganya, 9 dayang-dayang pengiring penganten dan nayaga), Sang Prabu Maharaja Linggabuwana Wisesa, Permaisuri Retna Lisning, dan putrinya Dyah Pitaloka. Semuanya gugur melakukan bela pati, sementara Permaisuri Ratna Lisning dan Dyah Pitaloka melakukan suduk salira (bunuh diri). Dari 20 pejabat kerajaan Sunda, dua orang diantaranya adalah Ki Nakhoda Braja dan Ki Nakhoda Bule yang mampu menewaskan lebih dari seratus orang.
Dari sumber yang lain diketahui bahwa iring-iringan itu didampingin juga oleh pasukan khusus pengawal raja, dikenal dengan nama Pasukan Balamati, yang berjumlah kira-kira 200 orang (ada yang menyebut juga 300 orang). Pasukan Balamati ini dilatih secara khusus dan diwajibkan untuk menguasai 7 aliran penca yang disebutkan oleh Kang Jali di atas. Pasukan inilah yang akhirnya berhadap-hadapan dengan lebih dari 2500 anggota Bhayangkara (Pasukan Khusus pimpinan Patih Gajah Mada).
Apabila diterjemahkan secara bebas, Sanghyang Sikshakandha Ng Karesiyan berarti kurang lebih Aturan Umum Kenegaraan (hasil keputusan Pejabat Tinggi). Mengenai Penca nya sendiri disebutkan bahwa anggota kerajaan diwajibkan menguasai Penca sesuai tingkatannya dalam kerajaan. Sedangkan masyarakat umum dibebaskan dari kewajiban tersebut, dan diutamakan lebih bertani dan berladang (dalam masa tersebut, peperangan bukan hanya memperebutkan wilayah, tetapi juga penduduknya, sebagai tenaga kasar dalam menghasilkan hasil ladang untuk negara).
Mengenai apa 7 rupa penca tersebut, Cimande memang menjadi salah satu kandidat yang cukup kuat. Dalam catatan seorang tokoh Maenpo Cikalong/Sabandar disebutkan bahwa sebelum lahirnya Cikalong dan datangnya Sabandar, di bumi Sunda sudah menyebar penca Cimande dengan berbagai variasinya. Peran Abah Khaer sendiri adalah sebagai penyebar dan bukan pencipta. Abah Khaer dianggap sesepuh yang melakukan pengajaran dan penyebaran Cimande (saat itu) dengan lebih terbuka dan terstruktur (menjadi cikal bakal Cimande Tarik Kolot). Pendapat ini bertentangan dan memicu kepada perdebatan mengenai penciptaan Cimande oleh Abah Khaer dari hasil petunjuk istrinya yang melihat pertempuran antara Harimau (Maung / Macan --> Pamacan) dengan Monyet (--> Pamonyet). Sekedar informasi, di beberapa daerah di bumi parahyangan sendiri dikenal Penca Pamacan (Jurus Harimau) dan Pamonyet (Jurus Monyet).
Keberadaan dua penca tersebut (Pamacan dan Pamonyet) selalu dihubung-hubungkan dengan keberadaan Cimande itu sendiri. Walaupun secara kaedah ketiga Penca tersebut cukup jauh berbeda.
Kembali kepada penca Cimande yang "tidak mendapat sentuhan" Abah Khaer (ini istilah pribadi saya), Penca ini juga tetap berkembang dan dikenal dengan nama Cimande Buhun. Berbeda dengan Cimande Tarik Kolot, Cimande Buhun ini tidak memiliki sistem pengajaran sistematis seperti Cimande Tarik Kolot. Walaupun begitu, di kelompok ini Abah Khaer tetap dianggap sebagai pelopornya, disamping nama-nama lainnya yang sepertinya lebih cenderung kepada mitos.
Para praktisi meyakini Cimande salah satu yang tersisa dari ke tujuh penca itu, entah darimana data yang digunakan. Mengingat sejarah Cimande baru sebatas hanya diciptakan oleh Abah Khaer/Kahir melalui pengalaman usik dengan isterinya yang mendapat ilham ketika melihat pertarungan maung dengan kera. Hal ini diperkirakan terjadi abad 18, artinya beberapa abad jauh setelah Palagan Bubat.
Di artefak Batujaya, Babelan Bekasi ditemukan adegan perkelahian dengan kembangan-kembangan seperti silat, dengan nama uncul, ini terjadi sekitar abad ke 3M kemungkinan di zaman Salakanagara (Wangsakerta)...yg sekiranya ini benar maka terkuaklah bela diri yang mendahului Pajajaran. Di Siksakandha Ng Karesiyan ada 16 taktik tempur Pajajaran yang dari namanya kemungkinan bisa diindikasikan nama bela diri tersebut.
Aan Merdeka Permana (Pengamat folklor dan penulis Bandung), pernah meneliti dua daerah yang dianggap berkaitan erat dengan kekuatan militer Pajajaran, yaitu di Bojongemas dan Surade, Sukabumi Selatan.
Di Bojongemas, kabupaten Bandung yang merupakan tempat akademi militer dan Kamasan di zaman Prabu Surawisesa dulu, beliau mendapatkan nama Sentak Dulang sebagai salah satu nama bela diri Pajajaran. Sentak Dulang pada saat ini dikenal sebagai nama gunung disana.
Belum lagi di Surade yang terkenal sebagai tempat i'tikaf nya Prabu Bunisora dan Pusat pelatihan pasukan khusus Pajajaran.
Di kitab Purwaka Caruban Nagari dan Babad Klayan, banyak didapati nama-nama ilmu yang digunakan Kian Santang.
Sumber: sahabatsilat.com
0 komentar:
Posting Komentar