Cobalah untuk memukulnya. Dijamin tangan lelaki berusia 58 tahun itu akan berkelebat cepat. Tangan kiri menangkis serangan berbarengan dengan tangan kanan menerjang muka lawan.
Cash and carry. Kalau diserang, langsung kite bayar kontan, ujar Muhammad Sani sembari tertawa.
Itulah karakter khas Gerak Saka. Aliran silat ini berasal dari Jawa Barat. Ini semula memang bela diri internal keluarga menak Sunda keturunan Prabu Siliwangi, kata Sani.
Raden H Muhammad Sjafe'i (1931-2001) adalah orang yang membawa bela diri tradisional ini ke Jakarta.
Bang Pe'i, demikian Muhammad Sjafe'i biasa disapa, belajar dari salah seorang kerabat istrinya, Raden Widarma. Meski keturunan bangsawan Pandeglang, Pe'i semula juga tak diperkenankan untuk mempelajarinya.
Ki Sura (nama aslinya tidak diketahui), salah seorang paman istri Bang Pe'i, akhirnya memberi izin Pe'i muda untuk memperdalam ilmu silat ini.
Pe'i juga diizinkan untuk mengajarkan ilmu ini kepada orang di luar lingkungan keluarga, asalkan mengubah nama alirannya. Aslinya bernama Gerak Gulung Pribumi, kata Sani.
Ketika mengembangkannya di Petojo, Jakarta Selatan, Pe'i mengubah namanya menjadi Gerak Saka. Singkatan dari Sakadaekna (bahasa Sunda) yang artinya sesukanya, kata Sani.
Maksudnya, ketika bertarung, gerakan aliran silat ini memiliki fleksibilitas bagaimana melumpuhkan lawan. Kena matanya bisa, mau serang kemaluan boleh, mau ambil ulu hati juga nggak apa-apa, ujarnya.
Selain Sani, dua ahli waris lainnya adalah H Abdullah di Condet dan H Nunung di Rawa Belong, yang lalu membentuk Gerak Sanalika.
Kesederhanaan dan fleksibilitas menjadi ciri khasnya. Aliran ini tidak memiliki kembang dan hanya memiliki lima jurus. Jurus-jurus ini sebenarnya hanya merupakan gerakan-gerakan dasar yang dalam aplikasinya berkembang sesuai dengan situasi pertarungan dan kondisi lawan.
Ilmu silat ini memang khusus untuk bertarung. Ketika menyerang, tangan digunakan hanya untuk menjangkau dan memukul daerah berbahaya lawan, seperti mata, leher, ulu hati, dan kemaluan.
Dalam ilmu ini kita memang diajarkan harus melumpuhkan lawan secepat mungkin, ucap Sani.
Tak seperti aliran silat lain yang lebih menekankan pada kecepatan dan kekuatan, ilmu bela diri ini bertumpu pada rasa, yakni sensitivitas untuk membaca sirkulasi pergerakan dan tenaga lawan lewat sentuhan tangan. Makanya ilmu ini juga disebut Gerak Rasa.
Rasa penting dalam perkelahian karena tangan yang terlatih akan memiliki kepekaan dan secara otomatis mengantisipasi gerakan lawan tanpa melihat.
Ketika bertarung, wajah kita justru berpaling dari musuh dan hanya melihat lawan lewat sudut mata, kata Sani. Unik, bukan?
Penulis :
AMAL IHSAN
Koran Tempo
Edisi : Sabtu, 24 Februari 2007
Cash and carry. Kalau diserang, langsung kite bayar kontan, ujar Muhammad Sani sembari tertawa.
Itulah karakter khas Gerak Saka. Aliran silat ini berasal dari Jawa Barat. Ini semula memang bela diri internal keluarga menak Sunda keturunan Prabu Siliwangi, kata Sani.
Raden H Muhammad Sjafe'i (1931-2001) adalah orang yang membawa bela diri tradisional ini ke Jakarta.
Bang Pe'i, demikian Muhammad Sjafe'i biasa disapa, belajar dari salah seorang kerabat istrinya, Raden Widarma. Meski keturunan bangsawan Pandeglang, Pe'i semula juga tak diperkenankan untuk mempelajarinya.
Ki Sura (nama aslinya tidak diketahui), salah seorang paman istri Bang Pe'i, akhirnya memberi izin Pe'i muda untuk memperdalam ilmu silat ini.
Pe'i juga diizinkan untuk mengajarkan ilmu ini kepada orang di luar lingkungan keluarga, asalkan mengubah nama alirannya. Aslinya bernama Gerak Gulung Pribumi, kata Sani.
Ketika mengembangkannya di Petojo, Jakarta Selatan, Pe'i mengubah namanya menjadi Gerak Saka. Singkatan dari Sakadaekna (bahasa Sunda) yang artinya sesukanya, kata Sani.
Maksudnya, ketika bertarung, gerakan aliran silat ini memiliki fleksibilitas bagaimana melumpuhkan lawan. Kena matanya bisa, mau serang kemaluan boleh, mau ambil ulu hati juga nggak apa-apa, ujarnya.
Selain Sani, dua ahli waris lainnya adalah H Abdullah di Condet dan H Nunung di Rawa Belong, yang lalu membentuk Gerak Sanalika.
Kesederhanaan dan fleksibilitas menjadi ciri khasnya. Aliran ini tidak memiliki kembang dan hanya memiliki lima jurus. Jurus-jurus ini sebenarnya hanya merupakan gerakan-gerakan dasar yang dalam aplikasinya berkembang sesuai dengan situasi pertarungan dan kondisi lawan.
Ilmu silat ini memang khusus untuk bertarung. Ketika menyerang, tangan digunakan hanya untuk menjangkau dan memukul daerah berbahaya lawan, seperti mata, leher, ulu hati, dan kemaluan.
Dalam ilmu ini kita memang diajarkan harus melumpuhkan lawan secepat mungkin, ucap Sani.
Tak seperti aliran silat lain yang lebih menekankan pada kecepatan dan kekuatan, ilmu bela diri ini bertumpu pada rasa, yakni sensitivitas untuk membaca sirkulasi pergerakan dan tenaga lawan lewat sentuhan tangan. Makanya ilmu ini juga disebut Gerak Rasa.
Rasa penting dalam perkelahian karena tangan yang terlatih akan memiliki kepekaan dan secara otomatis mengantisipasi gerakan lawan tanpa melihat.
Ketika bertarung, wajah kita justru berpaling dari musuh dan hanya melihat lawan lewat sudut mata, kata Sani. Unik, bukan?
Penulis :
AMAL IHSAN
Koran Tempo
Edisi : Sabtu, 24 Februari 2007
0 komentar:
Posting Komentar